PEREMPUAN & KOPRI

PEKA NEWS – Pada dewasa ini, sering kita temukan laki-laki lebih diprioritaskan daripada perempuan. Dianggap perempuan tidak bisa apa-apa dibandingkan laki-laki yang menjadi sentral dalam sosial masyarakatnya. Peran perempuan hanya di sumur, di kasur dan di dapur menjadi momok yang sering dilontarkan. Menghalangi mimpinya menjadi orang bisa, dengan cara dipandang sebelah mata.

Maka perempuan yang sudah tinggi jenjang pendidikannya, diharapkan ilmu yang diperoleh menjadi langkah awal perubahan. Menuju mindset masyarakat yang tercerahkan.

Perempuan adalah mahluk yang mulia yang memiliki keistimewaan sendiri. Sehingga dari keistimewaan tersebut perempuan sangat di jaga kehormatannya, baik dalam islam maupun di luar islam.

Perempuan memiliki tugas yang sangat besar untuk dirinya dan regenerasinya. Maka seorang perempuan harus memiliki pengetahuan dan pendidikan yang tinggi agar bisa mencetak generasi yang baik dan hebat. Karena perempuan yang hebat akan melahirkan generasi yang hebat pula.

Perempuan adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya, karena perempuan yang melahirkan, merawat dan yang mendidik. Maka dari itu, perempuan harus memiliki ilmu dan pendidikan yang tinggi agar bisa mendidik anak-anaknya dengan baik.

Perempuan itu adalah setengah dari penduduk dunia, mengabaikan potensi perempuan sama dengan membuat negara kehilangan potensi setengah dari penduduknya dengan konsekuensi yang negatif. Perempuan adalah mahluk yang krusial, keberadaannya ikut andil dalam pengembangan agama Islam baik secara keilmuan atau perjuangan.

Seperti sosok perempuan di masa Rasulullah, yaitu: Pertama, Fatimah binti Muhammad, yang dikenal dengan perempuan shahdah. Beliau sang penulis yang menerima gelar kehormatan dari Musnida Asfahan. Kedua, Khadijah Binti Khuwailid dikenal dengan perempuan yang berfikir visioner, dan saudagar kaya pada masanya.

Selain tokoh Islam, sosok perempuan di masa kemerdekaan Indonesia juga kita patut sebagai contoh, yang lantang memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti: RA Kartini, Cut Nyak Dien, Raden Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, dan masih banyak lagi.

perempuan ini secara tabiat, naluri dan kodrati adalah seorang pendidik pertama daripada sebuah bangsa dan agama. Oleh sebab itu keberadaan perempuan haruslah diupayakan menjadi seseorang yang terdidik, seseorang yang memiliki ilmu dan seseorang yang memiliki akhlak yang baik serta kehormatan yang baik.

Dalam kitab Idhotun Nasyi’in perempuan adalah sebuah kunci dari pada peradaban yang baik kedepannya. Oleh sebab itu haruslah diupayakan kebaikan daripada perempuan-perempuan itu.

Akan tetapi, tidak bisa menutup kemungkinan, bahwa di luar sana masih banyak penindasan terhadap perempuan, ketidakadilan terhadap perempuan dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan perempuan.

Mereka menganggap perempuan adalah mahluk yang lemah, perempuan tidak bisa apa-apa, bahkan dalam konstruksi sosial, perempuan hanya memiliki tugas, di dapur, di sumur, dan di kasur (3D). Budaya inilah yang harus kita rubah, budaya inilah yang harus kita hilangkan. Karena perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan juga bisa berperan di ranah politik maupun domestik.
Lalu, siapa yang harus merubah budaya seperti ini?

Jawabannya adalah perempuan, perempuanlah yang harus merubahnya, dan harus membuktikan. Bahwa perempuan juga bisa berpendidikan yang tinggi, perempuan bisa berada diranah politik, perempuan bisa jadi pemimpin, dan lain sebagiannya. Karena budaya partiarkilah yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam sosial dibandingkan perempuan.

Maka perempuan mempunyai peran dalam merubah budaya tersebut, dengan cara merubah mindset masyarakat agar menjadi masyarakat yang tercerahkan, bukan haya laki-laki sebagai sosok otoritas, tapi perempuan juga prioritas.

Penulis melihat, adanya budaya partiarki ini timbul karena dari perempuannya sendiri yang tidak mampu membuktikan bahwa dirinya bisa memperjuangkan hak-haknya, seperti hak berpendidikan, berkarir, menjadi pemimpin, dan lain sebagainya.

Jika perempuan tidak bisa memperjuangkan haknya tersebut, maka konstruksi sosial akan tetap meremehkan dan merendahkan perempuan. Maka dari itu, seorang perempuan harus berani melangkah lebih maju, dan bangun dari zona nyamannya. Perempuan diharapkan tidak sibuk dengan kecantikan fisik saja, melainkan kecantikan otak juga menjadi utama.

Budaya partiarki tidak bisa kita rubah dengan kata-kata saja, melainkan dengan bukti nyata oleh seorang perempuan. Jika perempuan itu sudah bangkit, dan berani membuktikan kemampuannya, maka secara tidak langsung budaya partiarki tersebut akan hilang. Sehingga masyarakat memandang perempuan bukan hanya pelengkap untuk laki-laki, tapi saling melengkapi dan membagi peran untuk kehidupan yang lebih hakiki.

Namun, seorang perempuan jangan sampai melewati batasnya, jangan sampai ingin mengalahkan laki-laki, atau menyaingi laki-laki. Hanya saja ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa.

Dengan ini, sudah seharusnya laki-laki dan perempuan tidak lagi berbicara siapa yang lebih tinggi dan siapa yang lebih utama, melainkan siapa yang mau merubah hidup bersama-sama. Maka dua insan tersebut harus bergandengan tangan untuk masa depannya yang lebih cerah.

Kopri (Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri), yang dimaksud dengan Korps sendiri adalah persatuan atau perkumpulan sekelompok orang dalam satu wadah tertentu di mana yang dimaksud dengan sekelompok itu adalah perempuan-perempuan yang mengikuti organisasi Kopri.

Sejarah Korps PMII Putri (KOPRI) adalah bermula berdiri pada Kongres ke-III PMII pada tgl 7-11 Februari 1967 di Malang, Jawa Timur bernama Departemen Keputrian dengan berkedudukan di Jawa Timur dan lahir bersama Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) ke-II PMII di semarang Jawa Tengah 25 September 1967.

Musyawarah Nasional (MUNAS) KOPRI pada Kongres ke-IV PMII di Makasar 25-31 April 1970 KOPRI mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI di bubarkan melalui voting pada Kongres VII Medan pada saat itu kader perempuan mengalami stagnansi yang tidak menentu, oleh karena itu perlunya wadah kembali bagi kader perempuan pada Kongres ke-XIII di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur 16-21 April 2003 dan terbentuklan POKJA perempuan. Lahirlah kembali KOPRI di Jakarta 20 September 2003. Selanjutnya, pada Kongres Bogor 26-31 Mei 2005 mempertegas adanya KOPRI kembali dan bersifat otonom. Selanjutnya, keberadaan KOPRI pada Kongres Batam 9-17 Maret 2008 bersifat semi otonom.

Kopri ini dibentuk untuk memberikan wadah terhadap perempuan yang ada di PMII, karena tujuan awal wadah kopri ini dibentuk agar perempuan memiliki ruang sendiri dalam beraktifitas, berinovasi, serta mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama mendaptkan hak nya.

Kadudukan kopri di dalam PMII yaitu Badan Semi Otonom (BSO). Sebuah wadah yang dibentuk pada setiap jenjang kepengurusan PMII, yang fokus menangani persoalan dan isu perempuan yang ada di internal maupun eksternal PMII. Dari wadah inilah perempuan diberikan ruang dan kesempatan untuk mengelola organisasi, untuk berinovasi dan berfikir bebas tanpa ada tekanan dari luar.

Selain tokoh perempuan di masa Rasulullah dan di masa kemerdekaan Indonesia di atas, kopri juga termasuk perempuan yang akan melanjutkan perjuangan perempuan dan mempertahankan hak-hak perempuan di masa sekarang.

Kopri memiliki tugas untuk merubah mindset masyarakat yang masih melekat dengan budaya partiarki terutama yang ada di pedesaan, serta mengawal isu-isu perempuan yang ada didaerah, regional maupun nasional.

Bangkitlah perempuan yang tertindas, bangkitlah KOPRI yang melawan.!!

Penulis: Jumiati

Editor: Saudi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *