FILOSOFI DAN EDUKASI DI BALIK LAMBANG DAN NAMA PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau yang di kenal dengan sebutan PMII merupakan organisasi gerakan mahasiswa yang di dalamnya penuh dengan simbol dan makna yang harus di fahami. Mulai dari kata per kata yang terkandung dalam PMII dan lambang yang ada di PMII, itu semua mengandung filosofi dan edukasi yang mendalam. Hal itu sudah semestinya kita sebagai kader harus memahami, menghayati dan mengamalkan filosofi dan edukasi yang terkandung dalam kata dan lambang yang ada di PMII tersebut.

Makna Filosofi PMII

PMII disusun dari empat kata yang menarik untuk dibahas dan di ketahui maknanya, yaitu: “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Pertama, istilah “Pergerakan,” dalam buku Menjadi Kader PMII, yang di tulis oleh Ahmad Hifni di jelaskan bahwa pada mulanya huruf “P” dalam PMII mempunyai tiga alternatif kepanjangan, yaitu pergerakan, perhimpunan, dan persatuan. Akhirnya yang dipilih adalah pergerakan (Movement/al-harakah) dengan argumentasi sifat mahasiswa yang selalu dinamis dan aktif, perubahan, mempunyai sifat bergerak secara aktif.

Dari sifat mahasiswa tersebut, sebagai barometer gerakannya, maka mahasiswa yang tergabung dalam PMII di harapkan menjadi kader yang senantiasa bergerak menuju tujuannya memberikan yang terbaik pada masayarakat sekitar. Hal tersebut relevan dengan makna “pergerakan” itu sendiri, yaitu dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam melawan dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar dinamika gerak menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya, (Hajisuteja, 2016).

Pengertian “Mahasiswa”, menurut Ahmad Hifni adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Sementara itu, Siswoyo (2007) juga mengemukakan definisi mahasiswa yakni individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi.

Namun, pengertian mahasiswa tidak hanya sesempit itu, karena mahasiswa mempunyai peran dan tanggung jawab sebagai kontrol sosial. Hal itu menjadi beban moral bagi mahasiswa jika tidak tahu persoalan sosial. Mahasiswa mempunyai peran untuk melakukan kontroling kepada hal-hal yang bertentangan dengan nilai keadilan di masyarakat. Justru itu, mahasiswa tidak hanya di tuntut belajar di bangku kuliah saja, melainkan harus belajar di luar sebagai bahan tambahan pengetahuannya. Maka, seorang mahasiswa wajib rasanya untuk ikut organisasi, baik intra maupun ekstra kampus. Agar bisa belajar tentang persoalan dirinya dan dunianya.

“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya cerminan sikap yang berhati-hati, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab, (Hajisuteja, 2016).

Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang memiliki falsafah dan ideologi bangsa ( Pancasila ) serta UUD 45. Kenapa mencantumkan nama Indonesia,? karena sejak awal kelahirannya, PMII sudah memberi komitmen yang kuat bagi rasa nasionalisme dan kebangsaan Indonesia. Penegasan istilah nasionalisme dan Indonesia ini juga sebagai sikap terhadap organisasi mahasiswa Islam yang lebih dulu ada yakni HMI yang tidak menegaskan nama Indonesia di dalamnya.

Arti Lambang PMII

Lambang PMII diciptakan oleh H Said Budairi. Bentuk Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh dari eksternal maupun internal. Ketahanan dan keampuhan disini tidak hanya tentang tantangan dan pengaruh dari organisasi maupun lembaga lain saja. Jauh dari itu, kader PMII harus mampu melawan diri sendiri yang selalu mendorong untuk tetap berada di lingkaran zona nyaman, seperti malas gerak (mager) malas baca buku, malas belajar dan malas ngopi, membiarkan badannya rebahan tiada henti dan membiarkan perutnya isi karena di isi setiap hari. Kader PMII harus keluar dari lingkaran zona nyaman tersebut. Melawan rasa lapar dan malas, menuju PMII hebat.

Perisai yang melambangkan ketahanan dan keampuhan kader jangan hanya di jadikan utopis belaka dan jangan hanya dijadikan wacana tanpa aksi yang nyata. Pahami secara mendalam, hayati secara sungguh-sungguh, kemudian peraktekkan secara konsisten, hingga pada akhirnya, makna lambang perisai tersebut akan menjadi energi yang selalu sigap dalam situasi dan kondisi apapun. Hal itu tidak cukup rebahan dan selalu mengisi perut saja, tapi membutuhkan pergerakan secara konsisten untuk menuju tujuan idealnya.

Lima bintang sebelah atas menggambarkan Rasulullah SAW dengan empat sahabat terkemuka (al-Khulafaur Rasyidun). Sedangkan empat bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhaluan Ahlusunnah wal Jama’ah.

Jumlah sembilan bintang dalam lambang itu dapat berati ganda. Pertama, Rasulullah dan empat orang sahabat serta empat orang imam mazhab itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi, dan penerang umat manusia. Kedua, angka itu juga menggambarkan sembilan orang pemuka penyebar Agama Islam di Indonesia yang disebut Walisongo.

Adapun warna biru pada tulisan PMII menunjukkan kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh warga pergerakan. Biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan wawasan Nusantara.

Biru muda yang menjadi warna dasar perisai sebelah bawah berati ketinggian ilmu pengetahuan, budi pekerti, dan takwa. Sementara kuning sebagai warna dasar perisai bagian atas berarti identitas kemahasiswaan yang menjadi sifat dasar pergerakan lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.

Kesimpulan

Filosofi nama dan lambang PMII bukan hanya kata-kata utopis yang diabaikan layaknya kader apatis. Bukan hanya wacana yang asik didiskusikan di pinggir jalan diwaktu grimis. Tapi suatu edukasi lintas funding father PMII yang memuat ide dan gagasan agar menjadi barometer gerakan kader secara praksis. Sehingga, nama dan lambang yang di letakkan ide atau gagasan tersebut akan mewakili gagasannya yang mengantarkan warga pergerakan dalam tujuan idealnya yang memampu meberikan kontribusi positif pada diri dan alam sekitarnya.

Quotes

“Pengetahuan tanpa di fahami, dihayati dan sipraktekan hanya menjadi wacana utopia belaka”

Referensi:
Hajisuteja. “PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Indonesian Moslem Student Movement”. 2010-05-18. Hajisuteja’s Blog. Diakses pada tanggal 22-03-2023.

Ensiklopedia Nu. “Makna di Balik Nama dan Lambang PMII”. 2016-04-18. Nu Online Blog. Diakses pada tanggal 22-03-2023.

Ahmad Hifni. “Menjadi Kader PMII”. Tangerang: Moderate Muslim Society (MMS), 2016.

Penulis: Moh. Salim

Editor: Suadi

HAK & GERAKAN MAHASISWA DI ERA DIGITAL

PEKA NEWS – Dewasa ini jumlah pemuda semakin melunjak di Indonesia. Menurut hitungan Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 64,19 juta jiwa atau setara dengan 25% seperempat jumlah penduduk di Indonesia.

Hal ini menjadi harapan besar dan mimpi indah Indonesia untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maju bukan hanya negara berkembang. Sumbangsih dan kontribusi daripada pemuda khususnya mahasiswa inilah yang akan menentukan arus bangsa kedepan.

Mempunyai negara yang lebih progres, sebetulnya hak daripada masyarakat yang harus diberikan oleh pemerintah melalui program-program edukatif, yang dalam hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah itu sendiri.

Kendati demikian, terwujudnya program yang profesional dan proporsional tentu harus melewati berbagai hal, mulai dari perencanaan, musyawarah, diskusi sampai tahap akhir yaitu realisasi. Maka dalam hal ini, pemerintah harus mendengarkan (menampumg) aspirasi masyarakat yang diperjungkan oleh mahasiswa, demi tercapainya program yang pro terhadap masyarakat.

Namun terkadang, pemerintah mengabaikan perjuangan para mahasiswa. Pemerintah apatis terhadap gerakan mahasiswa yang turun jalan. Aspirasi mahasiswa yang diperjungkan bukan mendapatkan respon positif, justru mendapatkan banyak intimidasi, mulai dari tekanan pribadi, keluarga hingga organisasi yang menjadi tempat prosesnya.

Namun, hal itu tidak memadamkan api semangat para mahasiswa, khususnya mahasiswa yang tergabung dalam Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang sudah menjadi kader pergerakan.

Kader PMII tidak bungkam sampai disitu, semua usaha dalam menyampaikan aspirasi terus dikobarkan dalam situasi dan kondisi apapun, baik dilakukan di dunia nyata maupun di dunia maya (sosmed/internet), karena hal itu sudah menjadi komitmen mereka sebagai Kholifah Fil ard.

Kader PMII berkomitmen, bahwa segala bentuk aspirasi harus selalu digaungkan dalam bentuk apapun, baik melalui turun jalan maupun gerakan media, Sampai kesejahteraan masyarakat khususnya kaum mustadafin (kaum yang tertindas) terwujud.

Di dunia digitalisasi ini tergambar bahwa Indonesia merupakan negara yang mempunyai penduduk pengguna internet sebanyak 143,260,000 Jiwa, (APJII, 2017).

Oleh karena itu, banyak cara yang bisa dilakukan oleh kader PMII untuk menyampaikan aspirasi agar terdengar oleh pemerintah atau bahkan diketahui oleh publik. Diantaranya adalah memanfaatkan sosial media. Namun hal ini tidak menafikan cara yang lain, seperti menggunakan administrasi (surat menyurat), pengeras suara, aksi turun jalan, mimbar bebas dan lain-lain

Menyampaikan aspirasi adalah salah bentuk ekspresi kader terhadap kebijakan yang tidak sehat. Selain menjadi kewajiban, hal itu juga menjadi hak kader sebagai bangsa Indonesia yang sudah dilindungi oleh Undang Undang, seperti UU PBB pada 10 Desember 1948 di pasal 19 (Paris).

Meskipun demikian, ketika mahasiswa khususnya kader PMII menyampaikan aspirasi selalu mendapatkan banyak intimidasi, bahkan diteror secara pribadi. Tawaran, tekanan, perlawanan dan halangan juga di lakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Meskipun aspirasi tersebut di sampaikan di sosial media, namun tidak mengurangi upaya pemerintah dalam menghalangi hal tersebut, sampai ada yang di tutup akses internetnya.

Hal ini menjadi problem yang harus di selesaikan, karena upaya seperti ini termasuk marginalisasi ekspresi dalam digital. Karena pada dasarnya, kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi melewati internet itu juga merupakan Hak mahasiswa yang harus dilindungi, namun nyataannya hak tersebut justru mengalami distorsi yang cukup aneh. Bahkan Hak Berekspresi dan Mendapatkan Informasi dalam dunia Maya sebetulnya juga merupakan Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi (Hasil Riset Internet Society di 20 Negara dengan hasil 83%).

Para mahasiswa ketika berani bersuara di sosial media yang dianggap bersebrangan dengan pendapat pemerintah justru dibungkam dan ditutup akses internet nya dengan berpayung hukum, seperti UU No 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Perlu kita ketahui bersama, bahawa UU No 19 tahun 2016 ITE atau Peraturan Mentri Komunikasi dan Informatika No 19 tahun 2014 merupakan UU terhadap konten yang bersifat negatif bukan pendapat masyarakat. Justru ini menjadi evaluasi bersama, agar harmonisasi dan kebebasan masyarakat terjalin dengan baik.

Dari beberapa problem di atas, maka penulis menganggap, pemerintah yang semacam ini adalah pemerintah anti kritik. Karena kritik yang di lakukan mahasiswa diistilahkan dengan mengujar kebencian yang akan menimbulkan permusuhan, yang akan berdampak negatif. Padahal mengkritik pada dasarnya hanya ingin menyampaikan pendapat atas sesuatu kebijakan yang menjanggal. Justru hal ini wajar jika mahasiswa ingin tahu lebih dalam terkait kebijakan yang diambil.

Penulis: Amrizal F.

Editor: Suadi

PEREMPUAN & KOPRI

PEKA NEWS – Pada dewasa ini, sering kita temukan laki-laki lebih diprioritaskan daripada perempuan. Dianggap perempuan tidak bisa apa-apa dibandingkan laki-laki yang menjadi sentral dalam sosial masyarakatnya. Peran perempuan hanya di sumur, di kasur dan di dapur menjadi momok yang sering dilontarkan. Menghalangi mimpinya menjadi orang bisa, dengan cara dipandang sebelah mata.

Maka perempuan yang sudah tinggi jenjang pendidikannya, diharapkan ilmu yang diperoleh menjadi langkah awal perubahan. Menuju mindset masyarakat yang tercerahkan.

Perempuan adalah mahluk yang mulia yang memiliki keistimewaan sendiri. Sehingga dari keistimewaan tersebut perempuan sangat di jaga kehormatannya, baik dalam islam maupun di luar islam.

Perempuan memiliki tugas yang sangat besar untuk dirinya dan regenerasinya. Maka seorang perempuan harus memiliki pengetahuan dan pendidikan yang tinggi agar bisa mencetak generasi yang baik dan hebat. Karena perempuan yang hebat akan melahirkan generasi yang hebat pula.

Perempuan adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya, karena perempuan yang melahirkan, merawat dan yang mendidik. Maka dari itu, perempuan harus memiliki ilmu dan pendidikan yang tinggi agar bisa mendidik anak-anaknya dengan baik.

Perempuan itu adalah setengah dari penduduk dunia, mengabaikan potensi perempuan sama dengan membuat negara kehilangan potensi setengah dari penduduknya dengan konsekuensi yang negatif. Perempuan adalah mahluk yang krusial, keberadaannya ikut andil dalam pengembangan agama Islam baik secara keilmuan atau perjuangan.

Seperti sosok perempuan di masa Rasulullah, yaitu: Pertama, Fatimah binti Muhammad, yang dikenal dengan perempuan shahdah. Beliau sang penulis yang menerima gelar kehormatan dari Musnida Asfahan. Kedua, Khadijah Binti Khuwailid dikenal dengan perempuan yang berfikir visioner, dan saudagar kaya pada masanya.

Selain tokoh Islam, sosok perempuan di masa kemerdekaan Indonesia juga kita patut sebagai contoh, yang lantang memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti: RA Kartini, Cut Nyak Dien, Raden Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, dan masih banyak lagi.

perempuan ini secara tabiat, naluri dan kodrati adalah seorang pendidik pertama daripada sebuah bangsa dan agama. Oleh sebab itu keberadaan perempuan haruslah diupayakan menjadi seseorang yang terdidik, seseorang yang memiliki ilmu dan seseorang yang memiliki akhlak yang baik serta kehormatan yang baik.

Dalam kitab Idhotun Nasyi’in perempuan adalah sebuah kunci dari pada peradaban yang baik kedepannya. Oleh sebab itu haruslah diupayakan kebaikan daripada perempuan-perempuan itu.

Akan tetapi, tidak bisa menutup kemungkinan, bahwa di luar sana masih banyak penindasan terhadap perempuan, ketidakadilan terhadap perempuan dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan perempuan.

Mereka menganggap perempuan adalah mahluk yang lemah, perempuan tidak bisa apa-apa, bahkan dalam konstruksi sosial, perempuan hanya memiliki tugas, di dapur, di sumur, dan di kasur (3D). Budaya inilah yang harus kita rubah, budaya inilah yang harus kita hilangkan. Karena perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan juga bisa berperan di ranah politik maupun domestik.
Lalu, siapa yang harus merubah budaya seperti ini?

Jawabannya adalah perempuan, perempuanlah yang harus merubahnya, dan harus membuktikan. Bahwa perempuan juga bisa berpendidikan yang tinggi, perempuan bisa berada diranah politik, perempuan bisa jadi pemimpin, dan lain sebagiannya. Karena budaya partiarkilah yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam sosial dibandingkan perempuan.

Maka perempuan mempunyai peran dalam merubah budaya tersebut, dengan cara merubah mindset masyarakat agar menjadi masyarakat yang tercerahkan, bukan haya laki-laki sebagai sosok otoritas, tapi perempuan juga prioritas.

Penulis melihat, adanya budaya partiarki ini timbul karena dari perempuannya sendiri yang tidak mampu membuktikan bahwa dirinya bisa memperjuangkan hak-haknya, seperti hak berpendidikan, berkarir, menjadi pemimpin, dan lain sebagainya.

Jika perempuan tidak bisa memperjuangkan haknya tersebut, maka konstruksi sosial akan tetap meremehkan dan merendahkan perempuan. Maka dari itu, seorang perempuan harus berani melangkah lebih maju, dan bangun dari zona nyamannya. Perempuan diharapkan tidak sibuk dengan kecantikan fisik saja, melainkan kecantikan otak juga menjadi utama.

Budaya partiarki tidak bisa kita rubah dengan kata-kata saja, melainkan dengan bukti nyata oleh seorang perempuan. Jika perempuan itu sudah bangkit, dan berani membuktikan kemampuannya, maka secara tidak langsung budaya partiarki tersebut akan hilang. Sehingga masyarakat memandang perempuan bukan hanya pelengkap untuk laki-laki, tapi saling melengkapi dan membagi peran untuk kehidupan yang lebih hakiki.

Namun, seorang perempuan jangan sampai melewati batasnya, jangan sampai ingin mengalahkan laki-laki, atau menyaingi laki-laki. Hanya saja ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa.

Dengan ini, sudah seharusnya laki-laki dan perempuan tidak lagi berbicara siapa yang lebih tinggi dan siapa yang lebih utama, melainkan siapa yang mau merubah hidup bersama-sama. Maka dua insan tersebut harus bergandengan tangan untuk masa depannya yang lebih cerah.

Kopri (Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri), yang dimaksud dengan Korps sendiri adalah persatuan atau perkumpulan sekelompok orang dalam satu wadah tertentu di mana yang dimaksud dengan sekelompok itu adalah perempuan-perempuan yang mengikuti organisasi Kopri.

Sejarah Korps PMII Putri (KOPRI) adalah bermula berdiri pada Kongres ke-III PMII pada tgl 7-11 Februari 1967 di Malang, Jawa Timur bernama Departemen Keputrian dengan berkedudukan di Jawa Timur dan lahir bersama Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) ke-II PMII di semarang Jawa Tengah 25 September 1967.

Musyawarah Nasional (MUNAS) KOPRI pada Kongres ke-IV PMII di Makasar 25-31 April 1970 KOPRI mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI di bubarkan melalui voting pada Kongres VII Medan pada saat itu kader perempuan mengalami stagnansi yang tidak menentu, oleh karena itu perlunya wadah kembali bagi kader perempuan pada Kongres ke-XIII di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur 16-21 April 2003 dan terbentuklan POKJA perempuan. Lahirlah kembali KOPRI di Jakarta 20 September 2003. Selanjutnya, pada Kongres Bogor 26-31 Mei 2005 mempertegas adanya KOPRI kembali dan bersifat otonom. Selanjutnya, keberadaan KOPRI pada Kongres Batam 9-17 Maret 2008 bersifat semi otonom.

Kopri ini dibentuk untuk memberikan wadah terhadap perempuan yang ada di PMII, karena tujuan awal wadah kopri ini dibentuk agar perempuan memiliki ruang sendiri dalam beraktifitas, berinovasi, serta mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama mendaptkan hak nya.

Kadudukan kopri di dalam PMII yaitu Badan Semi Otonom (BSO). Sebuah wadah yang dibentuk pada setiap jenjang kepengurusan PMII, yang fokus menangani persoalan dan isu perempuan yang ada di internal maupun eksternal PMII. Dari wadah inilah perempuan diberikan ruang dan kesempatan untuk mengelola organisasi, untuk berinovasi dan berfikir bebas tanpa ada tekanan dari luar.

Selain tokoh perempuan di masa Rasulullah dan di masa kemerdekaan Indonesia di atas, kopri juga termasuk perempuan yang akan melanjutkan perjuangan perempuan dan mempertahankan hak-hak perempuan di masa sekarang.

Kopri memiliki tugas untuk merubah mindset masyarakat yang masih melekat dengan budaya partiarki terutama yang ada di pedesaan, serta mengawal isu-isu perempuan yang ada didaerah, regional maupun nasional.

Bangkitlah perempuan yang tertindas, bangkitlah KOPRI yang melawan.!!

Penulis: Jumiati

Editor: Saudi

Institut Agama Islam Nazhatut Thullab Sampang melaksanakan wisuda strata 1 di Gedung PKPRI Sampang.

Institut Agama Islam Nazhatut Thullab Sampang melaksanakan wisuda strata 1 di Gedung PKPRI Sampang. (29/11/22).

Acara tersebut diikuti seluruh peserta Wisuda dari masing-masing fakultas. Salah satu peserta Wisuda berpesan “tetaplah menjadi mata air keteladanan, tetaplah menjadi manusia versi terbaikmu setiap hari. Badan boleh lelah, mata boleh basah, tapi hati jangan pernah menyerah.” Ucap Nasir sapaan akrabnya.

“Selamat dan sukses kepada seluruh peserta wisuda dan selamat mengabdi untuk negeri.” Tambahnya.

Setelah wisuda merupakan pengimplementasian ilmu yang telah didapat dalam bangku perkuliahan. “Pasca kuliah, pengabdian yang sesungguhnya adalah ketika kita pulang ke rumah masing-masing.” Kata salah satu peserta yudisium fakultas ekonomi dan bisnis islam.

Dunia kerja lebih kejam dan terkadang tidak sesuai dengan dunia perkuliahan. “Berbanding terbalik teori dan praktik di lapangan, kita selaku lulusan S1 dianggap bisa di semua bidang.” Tegas Aziz mahasiswa asal gresik.

Maka dari itu kita harus mempersiapkan cadangan-cadangan ketika terjun ke dunia yang sesungguhnya.

Sehingga bisa berkompetisi, berinovasi dan beresensi.